Cerita : ADA PEREMPUAN SIMPANAN

 

ADA PEREMPUAN SIMPANAN

 


Tak ada kutu atau ketombe di kulit kepalanya. Namun, seperti biasa Annisa (37 tahun) tak kuasa menghentikan kebiasaanmenggaruk kepala jika sedang merasa senang. Terlebih saat bermanis-manis dengan kekasih hatinya, meski cuma lewat kabel telepon. Beberapahelai rambutnya rontok, jatuh mengotori meja telepon di rumahnya. Sejak kecil, rambutAnnisa memang gampangrontok.

 

"Swear, honey. Aku belum cerita ke siapa-siapa. Baru Lola yang tahu. Dia 'kan sohibku," rajuk Annisa.

 

Nada suara lelaki di seberangsana - yang sebelumnya penuh emosi - akhirnya merendah. "Ya ...  sudahlah, aku percaya. Aku janji, bulandepan kita bereskan semuanya. Tapi aku minta, sebelum itu jangan cerita tentang calon bayi kita pada siapapun. Curhat kamu ke Lola anggap saja kecelakaan."

 

"Bener nih, kamu enggak marah?" suara Annisa makin manja. Si lelaki (38 tahun) mengiyakan dengan mesra.

Pasti tak ada yang menyangka, percakapan tadi menjadi percakapan terakhir dua sejoli yang tengah dimabuk cinta itu. Beberapahari kemudian, Annisa dan anak lelakinya, Jordi (6 tahun), dilaporkan hilang dari rumah mereka yang asri di bilangan Rawamangun, Jakarta Timur.

 

Hilang kontak

Lola (24 tahun) yang pertamakali melaporkan hilangnya Annisa pada aparat keamanan. Diantar adik laki-lakinya, sarjana ilmu sosial yang baru saja diwisudaitu menumpahkan kegundahan hatinya.

 

"Biasanya, setiap Jumatsore, kami selalu bertemu di pusat kebugaran. Tapi sore tadi, Mbak Annisa enggak nongol. Padahal, tidak biasanya dia absen tanpa kabar. Kalaupun  berhalangan hadir,  pasti  dia  mengontak  saya.  Saya  sudah  berusaha menghubungi handphone-nya dan  menelepon rumahnya, tapi  enggak ada  yang angkat," Lola menjelaskan alasannya mendatangi kantor polisi.


"Anda sudah menghubungi kerabat Bu Annisa?" tanya KomisarisPolisi (Kompol) Hadi Bhrata, Kapolsektro Pulogadung, yang ikut nimbrungmendengarkan laporan Lola.

 

"Sebagian besar kerabat Mbak Annisa tinggal di Cibinong. Tapi setahu saya, dia jarang sekali ke sana."

 

"Anda sempat mampirke rumah Bu Annisa?" kali ini Asrul Gumara,anak buah Hadi, yang bertanya.

 

"Itulah. Habis maghrib tadi, saya lewat depan rumahnya. Gelap sekali. Tetangganya bilang, Mbak Annisa keluar rumah sejak jam dua belasan, sebelum bubaran salat Jumat."

 

Hadi dan Asrul menatap Lola sebentar.Ada kecemasan luar bisa terpancar dari wajah wanita muda berparas ayu itu.

 

Darah di kamar tidur

Di lingkungan tempat tinggalnya, menurut Lola, Annisa cukup populer.Dia dikenal sebagai "janda kaya" yang baik hati dan dermawan. Suaminya, Wicak Abilawa, memangwiraswastawan sukses yang sayangnya meninggal dunia di usia muda, akibat kecelakaan pesawat tujuh tahun lalu.

 

Untungnya, Wicak meninggalkan warisan lebih dari cukup untuk menghidupi anak dan istrinya.Di antaranya rumah lumayan besar dan asri yang kini ditinggali Annisa bersama Jordi, serta tiga gerai sepatu, masing-masing di pusat perdagangan Pasar Baru, Mal Ciputra, dan Mal Metropolitan Bekasi.

 

Toyota Kijang berpelatnomor polisi yang dikemudikan Asrul berhenti persis di depan pintupagar rumah Annisa. Lola yang memaksa ikut, duduk tegang di  samping reserse Polsektro Pulogadung itu. Seperti ceritaLola, Jumat malam itu kondisi rumah Annisa memang gelap gulita. Pintu pagarnya tak terkunci, sedangkan semua lampu dalam kondisi mati.Hanya lampu dapur yang tampak menyala.

 

Dari sanalah Asrul dan Lola mengintip kedalam rumah. Asrul berpikir sejenak, sebelum akhirnya memutuskan masuk secara paksa lewat pintu belakang. "Maaf, Bu Annisa, pintunya terpaksa saya rusak. Saya hanya seorang polisi, bukan ahli kunci," desah Asrul pelan. Lola yang ikut mendengar, tersenyum geli. Polisi yang satu ini kocakjuga. "Mengapa tak memecahkan kaca jendela saja? Tanpa terali dan cukup lebarsebagai jalan masuk," saran Lola.

 

Namun terlambat, braaakkkk!

 

... Hanya dalam beberapa tendangan, pintu belakang itu roboh. Dalam hati Lola kagum juga pada "tenaga dalam" Asrul. Meski "Hercules" yang dikagumi itu malah berbalik memuji Lola. "Ide kamu bagus juga, Lola. Kaca jendela'kan lebih mudah diganti dan diperbaiki daripada pintu ya?" Sang detektif telat mikir rupanya.

 

"Kelihatannya, Bu  Annisa  dan  anaknya  enggak  ada  di  rumah,"  komentar Asrul setelah menyisirdapur, ruang keluarga, danruang tamu. "Bagaimana kalau ternyata mereka sedang plesir ke luar kota? Aku bisa dipotong gaji karena merusakpintu."

 

"Tidak mungkin," elak Lola. "Lihat, pintu depan ternyata tidak terkunci."


"Alamak, kenapa kita enggak masuk baik-baik lewat pintu depan?" Asrul cengengesan.

 

Sejenak, polisi berpakaian preman itu memelototi foto pengantin berukuran besar yang tergantung di dinding.

 

"Itu fotoMbak Nisa dan almarhum suaminya," jelas Lola. "Hmm. Cantik juga, ya."

Lola manggut-manggut. Kakinya hendak melangkah ke kamar tidur Annisa, ketika tiba-tiba dicegat Asrul. "Sepertinya, ada sesuatu yang tidak beres di kamar tidur. Saya akan nyalakan lampu.Hati-hati dengan langkah Lola."

 

Dada Lola berdegup kencang. Benar saja, meja rias dan beragamperlengkapan dandan perempuanyang  ada  di  atasnya tampak berantakan, seperti  baru  saja diamuk gelombang tsunami. Tak jauh dari tempat tidur, mereka menemukan ceceran darah. Tak banyak, tapi cukup untuk dijadikan barang bukti. "Sebaiknya kita keluar. Saya akan mencoba menghubungi komandan," Asrul menuntun Lola keluar kamar.

 

"Bisa antar saya dulu ambil air minum di ruang makan, Pak?" Lola tampak gugup. Wajahnya memutih seputihkapas

 

Diancam pengutang

Malam itu juga, Asrul yang diserahi tugas menangani kasus hilangnya Annisa dan Jordi,mulai mengumpulkan barang bukti hingga fakta yang ditemukandi lapangan. Sampel cecerandarah dikirim ke laboratorium kriminal Mabes Polri untuk diteliti lebih lanjut.

 

"Sialnya, selainsampel darah dan kamar yang berantakan, tak ada lagi petunjuk yangdapat kita maksimalkan, Dan," lapor Asrul pada Hadi Bhrata.

 

"Kelihatannya pelaku cukup  tenang dan  profesional, sehingga bisa kabur  tanpa meninggalkan jejak dan sidikjari," timpal Hadi.

 

"Pelaku juga pasti dikenal baik oleh korban. Lihat saja, tak ada tanda-tanda seseorang masuk rumah secara paksa."

 

"Ada. Itu pintubelakang rusak akibat didobrak," tutur sang komandan. "Oh. Pintu itu saya yang mendobrak ketika datang kemari bersamaLola." "Menurut kamu, korbanmasih hidup?"

"Entahlah. Kalau melihat data, jarang sekali korban penculikan bisa lepas dengan selamat dari penculiknya. Terlebih jika mereka salingkenal."

 

Setelah meneliti seluruh isi rumah, Asrul mengerahkan anak buahnya untuk mengorek informasidari para tetangga.

 

"Kami semua sayang padanya. Dia hampir-hampir tak punya musuh di sini,"sebut

Bu Fadli, tetangga Annisa,sembari sesenggukan. Dia mengakusangat kehilangan. "Kabarnya, ia memilikibanyak piutang, Bu?"pancing Asrul.


"Betul.   Jeng   Annisa   memang   tak   pernah   segan   meminjamkan  uang   pada tetangganya yang sedang mengalami kesusahan. Meski kadang ada juga tetangga yang tak tahu diri. Sudah bertahun-tahun pinjamantak juga dikembalikan," cerita Bu Fadli. "Bahkan saat menagih ke Pak Pipin, Jeng Nisa sempat diancam segala.Lucu, ngutangnya mau, ditagihkok marah-marah. KasihanJeng Nisa. Kalau saja suaminya masih hidup ...."

 

"Diancam bagaimana, Bu?"

 

"Orang-orang yang bilang. Saya sendiri tidak melihat langsung kejadiannya.Tapi sepulang dari rumah Pak Pipin,saya lihat mata Jeng Nisa basah."

 

Annisa, menurut Lola, kadang memang terlalu baik pada siapa saja. Gadis manis itu bercerita, sekitar sepekan sebelum menghilang, Annisa sempat adu mulut dengan Baskoro, mantan karyawan gerai sepatunyadi Mal Metropolitan. Baskoro dipecat setelah untuk ketigakalinya dipergoki menyalahgunakan stok dari gudang tanpa izin.

 

"Dua kali dia saya maafkan. Tapi maaf yang saya berikan ternyata selalu disalahgunakan,"   tutur   Lola,   menirukan   cerita   Annisa   lewat   telepon.   "Saya sebetulnya enggak tega, tapi Baskoro memang harus diberi pelajaran." Annisa sempat meminta Lola menjemputnya di Mal Metropolitan. Takut kalau-kalauBaskoro melakukan pembalasan.

 

Mobil dicuci bersih

Cuma ada satu tanda di benak Asrul, sehari setelah hilangnya Annisa dan Jordi. Apalagi kalau bukan tanda tanya! Minimnya jejak pelaku, belum jelasnya motif serta ketidakpastian apakah korban sekadar diculik atau telah dibunuh, membuat reserse itu pusing tujuh keliling.

 

Untuk sementara, dia menganggap kasus ini sebagai penculikan. Soalnya, jasad Annisa tidak ditemukandan tak ada barang-barang pribadi Annisa yang hilang, kecuali   sebuah   mobil   Toyota   Kijang   terbaru.   "Kalau   memang   perampokan, pelakunya pasti memasukkanjuga barang-barang lain ke dalam mobil. Lagi pula, untuk apa perampokmembawa serta Annisadan anaknya?" batin Asrul.

 

Dugaan penculikan masih diyakininya, setelah siangnya, Asrul menerima laporan mobil  Annisa  ditemukan  di  kawasan  Sukabumi,  Jawa  Barat.  "Mobilnya  dalam keadaan bersih. Kelihatannyabaru dicuci, sebelum ditinggalkan begitu saja, tak jauh dari areal persawahan," lapor Sudirja, anak buah Asrul yang khusus dikirim ke Sukabumi.

 

Namun, setelah lewat tiga hari, telepon sang "penculik" tak juga datang, Asrul mulai ragu pada teorinya. "Seorang penculik, apa pun alasannya,lazimnya minta tebusan. Kecuali  pelaku  menculik  hanya  sebagai  kedok  untuk  membunuh  korbannya," batinnya lagi. Dering telepon dari Lola membuyarkan lamunan Asrul. Sejam kemudian, merekabertemu di sebuahkedai ikan bakar di bilangan Tenda Semanggi.

 

"Itulah, Pak. Semalamsaya bermimpi, Mbak Nisa berada di suatu tempat, bersama

Jordi. Tapi tempatnya aneh, entahdi mana. Mereka sepertiminta tolong pada kita."

 

Asrul menarik pelan-pelan lengannya yang menghangat, selepas bersentuhan dengan punggungtangan Lola.

 

"Dan ada satu hal yang belum saya katakan.Sebenarnya, saya sudah janji sama

Mbak Nisa untuk tidak menceritakan soal ini pada siapapun. Tapi ...."


 

"Ayolah, siapa tahu cerita kamu bisa membantu."

 

Kali ini bukan lengan,tapi wajah Asrul yang menghangat. Baru kali ini wajahnya berdekatan dengan wajah Lola. Begitudekat.

 

"Setahun terakhir ini, Mbak Nisa menjalinhubungan dengan seorang lelaki. Mereka backstreet, karena mau bikin kejutan buat keluarga masing-masing. Bahkan Jordi sendiri pun belum diberi tahu," Lola mulai bercerita. "Terakhir, Mbak Nisa bahkan mengaku sedang mengandung tiga bulan."

 

"O ya?"

 

"He-eh. Dia kelihatan bahagiabanget. Setelah bertahun-tahun menjanda, dia bersyukur, akhirnya menemukan orang yang tepat untuk kembalimembina rumah tangga."

 

"Kamu pernah bertemu lelakiitu?" "Itulah ...." "Itulah lagi."

"Eeeh ... mau dilanjutkan enggak?"

 

"Itulah ... kamu ternyata gampang ngambek,he-he-he." Lola menjawil lenganAsrul.

"Sampai saat ini, cuma saya teman curhat yang dipercaya Mbak Nisa. Tapi saya sendiri belum pernahbertemu pacarnya itu. Apakah miripBrad Pitt, Tom Cruise,atau Tukul Arwana,saya enggak tahu.Bahkan namanya pun dirahasiakan."

 

Asrul menghabiskan tetes terakhir jus avokatnya, lalu bangkit dari kursi. Mendadak dia seperti mendapat energi tambahan.

 

"Mo ke mana?" "Ke TKP." "Saya ikut!"

Petunjuk tagihan

"Beberapahari lalu, Anda merusakpintu belakang. Sekarang, merusak pintu-pintu lemaridan laci. Kalau Mbak Nisa tahu ...."

 

Asrul tak mempedulikan omelan "partner" bawelnyaitu.

 

"Gotcha!" teriaknya tiba-tiba. "Bon-bon kafe, surat tagihantelepon seluler, karcis parkir ...."

 

"Gila, dalam sehari, Mbak Nisa bisa menghubungi nomor 0815xxxsampai sepuluh kali. Ini pastinomor telepon pacarnya," seru Lola.

 

"Mereka juga selalu bertemu di sebuahkafe di Tebet. Kamu tahu letak kafe itu?"


"Tahu banget. Saya memangpernah mengajak Mbak Nisa ke sana. Tempatnya asyik. Pemiliknya mantan kakak-kakak kelas saya di kampus dulu. Kayaknya mereka join-an, gitu. Kita ke sana?"

 

"Sabar dong. Kita harus pastikan dulu, nomor ini betul-betul nomor telepon pacarnya

Bu Annisa."

 

Lola duduk di ruang keluargarumah Annisa, memelototi acara teve yang selama ini paling dibencinya, telenovela. Terpaksa,karena saluran lainnya menyiarkan acara yang tak kalah menyebalkan. Di ruang tamu, Asrulsibuk dengan telepon selulernya.

 

Hampir setengah jam berlalu. "Namanya Lelono, TondiLelono." "Dia terlibat?"

"Entahlah. Kelihatannya, dia shock mendengarAnnisa hilang. Dia juga mengaku beberapa kali menghubungi handphone dan telepon rumah Annisa,tapi tidak pernah dijawab."

 

"Kita jemput dia sekarang?"

"Lola ... saya polisinya, bukan kamu!" Selalu mesra

Menyimak curhat Annisa kepada Lola, mestinya tak patut mencurigai Tondi. Mereka saling menyayangidan sudah sepakat untuk menuju pelaminan. "Tinggal menunggu saat  yang  tepat,"  ujar  Lola,  menirukan ucapan  Annisa.  Apalagi  saat  ditemui  di rumahnya, Tondi terusterang mengakui kedekatannya denganAnnisa.

 

Kawan-kawan Lola yang mengelolaKafe Sentani di bilangan Tebet, juga berbicara tentang hal yang sama. "Mereka memang sering banget ke sini. Tapi gue enggak pernah ngeliat mereka bertengkar, La. Malah, kadang-kadang, gue ama temen- temen iri ngeliat kemesraan mereka.Gimana, gitu,"tegas Niken, salah satu anggota kongsi Sentani.

 

Motif "harta" juga tak masuk dalam hitungan Asrul. Tondi jelas tak lebih miskin dari Annisa. Dia punya toko bahan-bahan bangunan dan gerai LPG yang lumayan laris, dua-duanya terletak di Tebet.

 

"Anda tahu, Bu Annisa sedanghamil?" pancing Asrul.

 

"Ya, pasti dong. Kami bahkan hendak mematangkan rencana pernikahanbulan depan. Saya sangat berharap,polisi segera menemukan Annisa dan Jordi, dalam keadaan sehat walafiat. Mereka berdua bagiandari masa depan saya. Merekamasih hidup, 'kan?"

 

Asrul dan Lola salingberpandangan. Jawabanapa yang mestidiberikan? "Saya juga berharap begitu,Mas," Lola memecah kebuntuan.

"Baiklah, kami permisi dulu. Tapi, saya sarankan Anda tidak bepergian jauh untuk sementara waktu, agar kami bisa cepat menguhubungi jika ada sesuatu yang perlu dikonfirmasi," tutur Asrul, menutup pembicaraan.


 

Tondi mengantar Asrul dan Lola sampai pintu pagar.

 

Di perjalanan Asrullebih banyak berbicara dengan pikirannya sendiri. Kadang dahinya berkerut,kadang kepalanya menggeleng. Lola yang bosan diperlakukan seperti patung, akhirnyaberinisiatif membukapercakapan.

 

"Saya punya firasat,siapa pun pelakunya, pasti punya masalah pribadi dengan korban.  Ini  bukan  penculikan  murni.  Pelakunya  kenal  baik  dengan  Mbak  Nisa. Mereka bertemu di satu tempat, lalu ke rumah dengan mobil yang sama. Di rumah, mereka terlibat pertengkaran. Mbak Nisa dibunuh, begitu pun Jordi yang ikut menyaksikan peristiwa itu. Lalu untuk menghilangkan jejak, mayatnya dikuburkan di sebuah tempat."

 

"Teorimu boleh juga.Terus?"

 

"Para tetangga mengira, mobil Mbak Nisa, yang keluar masuk rumah sejak pagi sampai siang, dikemudikan sendiri oleh pemiliknya. Bu Fadli dan tetangga lainnya mengaku tidak melihat dengan jelas siapa sopirnya, 'kan? Makanya, mereka tak sedikit pun menaruh curiga."

 

"Not bad."

 

"Jadi, apa rencana kita sekarang?"

 

"Kita? Sekali lagi, saya detektifnya. Kamu cuma penumpang gelap." "Penumpang gelap yang cantik. Ya, 'kan?"

Asrul mati kutu. Badannya bolehsekuat Herkules, tapi bujangansatu ini sering tak berkutik jika berdebat dengan perempuan yang satu ini. "Besok kamu istirahat saja di rumah,enggak usah ikut wara-wiri. Mbak Annisa 'kan tak punya banyak musuh.Jadi, jika bukan Tondi, pelakunya tentu Pak Pipin, atau Baskoro, mantan karyawan yang dipecat beberapa hari lalu. Merekalah yang dalam seminggu terakhirbermasalah dengan Annisa."

 

"Saya benar-benar enggakboleh ikut?"

 

"Ini bukan tugas kampus,Lola. Ini kasus serius." "Oke. Eh, siap, Komandan!"

Teguran karyawan

Jumat pagi, tepat seminggu sejak hilangnya Annisa dan Jordi, Asrul masih belum menemukan simpul yang menghubungkan hilangnya janda kaya dan anaknya itu dengan sejumlah orang yang dicurigai. Pak Pipin punya alibi sangatkuat dari istri dan anak-anaknya, sedangkanBaskoro masih dicari keberadaannya. Anak muda itu seperti tahu bakal bermasalah dengan pihakkepolisian, kini lenyap bak ditelan bumi.

 

Hanya satu hal yang mulaidiyakini Asrul, yakni kecil kemungkinan menemukan

Annisa dan Jordidalam keadaan selamat.

 

"Hai, La. Apa kabar?" sapa Asrul,begitu Lola tiba-tibamuncul di depan mejanya.


Yang disapa tampak tegang, matanya merah. "Saya membawa saksi penting, namanya Pak Zakaria."

 

Asrul jadi ikut-ikutan tegang. Terlebih setelah lelaki berusia 49 tahun, yang telah bekerja di gerai LPG selama delapan tahun itu, mengaku beberapa hari lalu dipecat Tondi, tanpa alasan jelas. "Sayahanya orang bodoh, buta huruf lagi. Jadi, kalau diminta berhenti, ya berhenti saja. Toh Pak Tondi memberipesangon lumayan," jelas Zakaria lancar.

 

Namun, yang lebih membuat Asrul kaget adalah pengakuan jujurZakaria, bahwa bosnya itu kelihatan kurang suka ketikadia bertanya soal perempuan muda dan anaklelaki yang "tertidur" di kursi belakangToyota Kijang berkaca gelap.

 

"Sebagai orangtua, saya hanya sekadarbertanya, mengapa tamunya tidak tidur di kursi depan atau belakang saja. Kursi belakang 'kansempit?" Zakaria menirukan tegurannya saat itu.

 

"Tapi  entah  mengapa,  Pak  Tondi  tampaknya  kurang  senang.  Besoknya,  saya dimintapulang ke Sukabumi."

 

"Bapak tahu siapa penumpang di kursi belakang itu?" "Tidak, Pak."

"Berapa lama Pak Tondi mampirdi kios LPG?"

 

"Sebentar. Dia cuma bergantikaus, kok. Mungkin sekitar lima menit. Saat itu, kios sedang sepi, sebagian besar karyawan sedangsalat Jumat."

 

Seketika dada Asrul lega. Sebaliknya, di sudut ruangan, Lola tersedu-sedan. Mulutnya komat-kamit berdoa, agar arwah Annisa dan Jordi mendapattempat yang layak di sisi-Nya.

 

Dikubur di tanah kosong

Sabtu sore. Langit cerah, menyambut malam minggu yang indah. Asrul dan Lola sepakat bertemu di sebuah kafe di bilangan Jln. Jend. Sudirman, Jakarta. Mereka hendak makan minum untuk merayakan terbongkarnya kasus pembunuhan Annisa dan Jordi.

 

"Tondi mengaku membunuh Annisa dan Jordi. Dia kesal, Annisa hendak membatalkan rencana pernikahan setelahtahu, Tondi ternyatamemiliki wanita simpanan lain yang juga tengah hamil.Di puncak kemarahannya, Tondi akhirnya lupadiri, sehingga berkali-kali memukul wajah Annisa sampai hidung dan mulutnya mengeluarkan darah. Dia lalu mencekikAnnisa sampai mati lemas."

 

"Bagaimana dengan Jordi."

 

"Jordi masuk ke kamar pada saat yang salah. Tondimembunuhnya dengan cara yang sama. Untuk menghilangkan jejak, kedua mayat itu diangkut dengan Toyota Kijang milik Annisa, lalu dikuburkan di sebuah kebun kosong milik Tondi, di daerah Pamulang, Tangerang."

 

Dari hasil tes labkrim terhadap sampel darah di TKP dan di jenazah korban yang diotopsi setelah digali kembali dari  pemakaman, Mabes Polri  juga menemukan, sampeldarah di TKP positif milik Annisa dan Jordi.


 

Lola tak dapat menahansedihnya.

 

"Sekarang,giliran aku bertanya.Di mana kamu kenalPak Zakaria?" Mata cantik Lola sedikit terangkat.

"Saat Mas menyelidiki Pak Pipin dan Baskoro, saya memutuskan mengamati gerai LPG Tondi. Dari sana saya tahu, ada karyawan yang baru saja dipecat tanpa alasan jelas, sehari setelah Mbak Nisa menghilang."

 

"Kamu mengejar Pak Zakaria sampaiSukabumi?" "Feeling hampir selalu benar."

"Lola, kamu memangberbakat jadi detektif." "Atau istridetektif?"

Ah, kini ada dua wajah yang bersemumerah. (Kisah rekaan/Muhammad Sulhi)

Pramuka-07

Kami membina, mendidik dan mendampingi generasi muda putra-putri pertiwi untuk hantarkan mereka raih mimpi setinggi Asa, Walau tak sebesar debu, semangat pengabdian kami : berkontribusi mewujudkan kehidupan masyarakat dunia yang 'Damai Santun, Trampil dan Humanis', melalui para pembina, pendidik pada seluruh tingkat satuan dan gugus depan diwilayah pembinaan Kwartir Ranting 20.07 Gerakan Pramuka Kec. Kedung Kab. Jepara, Jawa Tengah

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak