Cerita : DIREKRUT JADI MITRA PEMBUNUH

 DIREKRUT JADI MITRA PEMBUNUH

 


Janos Telek berjalan terseok-seok di sisi Istvan Stefan Hollossy.Hatinya pedih, karena sebenarnya ia tak ingin meninggalkan apartemen penuh kenangandi Timmendorf  itu.  Apalagi  ia  harus  melakukan  perjalananpaling  aneh  sepanjang hidupnya, tanpa tahu arah yang dituju,serta kapan dan di mana akan berakhir.

 

Semuanya tergantung Hollossy, lelaki bengis yang baru saja membelokkan perjalanan hidupnya. Saat berjalankaki menuju tempat parkir,pikirannya sempat menerawang, membayangkan kembali peristiwa mengerikan yang terjadi beberapa menit sebelumnya.

 

... Istvan Stefan Hollossy mengeluarkan sebatang rokok dari saku jas, menyelipkannya ke sela-selabibir, lalu menyulutnya dengan santai. Sepertibiasa, gayanya macho dan berwibawa, persis anggota geng mafia. Wajahnyabegitu dingin, dengan mata menatap tajam,langsung ke bola mata lawan bicaranya, Corneliayang sedang duduk santai di sofa.

 

"Kamu bilang, urusanbisnis kita selesaisampai di sini?" "Ya ..., sebaiknya begitu,"ucap perempuancantik itu.

Hollossy tampak mengangguk pelan. Lelaki bermata kucing dengan ekspresiyang tak mudah ditebak itu kian tajam manatap Cornelia.Yang dipandang jadi salah tingkah.

 

"Aku dan Janosberencana menikah.Untuk itu, mulai sekarang, kami harus lebih rajin menabung," sambungCornelia.

 

Di pojok ruangan, Janos Telek terlihat gundah. Ia memperhatikan dengan seksama percakapan Stefan dan Cornelia.Saking seksamanya, Janos sempat terperangah ketika   tiba-tiba   Stefan   mengeluarkan   sesuatu   dari   balik   jasnya.   Hollossy mengarahkan pistol berdiameter 7,65 mm ke arah CorneliaRenz. Dalam hitungan detik, dorrrr!Jidat wanita seksi itu ditembus peluru. Cornelia langsungjatuh di karpet, tak jauh dari tempat Hollossyberdiri.

 

Dengan  mata  kepala  sendiri,  Janos  menyaksikan Cornelia  meregang  nyawa  di karpet. Dua kali kaki wanita cantik itu bergerak, geliat refleks orang yang sedang sekarat, sebelum akhirnya tak bergeraksama sekali.

 

Perempuan asal Yugoslavia berusia 20 tahun itu langsung meninggal. Janos betul- betul tak percaya, gadis manis yang beberapa bulan terakhir ini mengisi hari-hari indahnya, sekarang terbaring kaku dengan lubang di kepala. Ia makin tak percaya, karena tak dapat berbuat apa-apauntuk menyelamatkan kekasihnya.

 

Semuanya begitu mengejutkan. Bagaimana mungkin Hollossytega membunuh Cornelia dengan cara sekeji itu? "Bukankah ia yang memperkenalkan aku pada Cornelia?" pekik hati kecil Janos ....

 

Traktir sepanjang malam

"Aku berjanji, ini tidak akan menjadi perjalanan yang penuh intrik. Tapi semata-mata perjalanan bisnis. Aku punya penawaran menarik untuk kamu," suara Stefan membuyarkan lamunanJanos. Stefan tak menjelaskan penawaranapa yang dibawanya, dan Janos pun tak pernah ingin tahu. Mereka akhirnya sampai di tempat


parkir, dan segera masuk ke mobil Opel Rekord tua kepunyaan Janos. "Kamu saja yang menyetir," pinta Stefan sembari melirik lelaki di sampingnya dengan ujung matanya.

 

"Tapi, SIM-ku baru saja dicabutsabtu lalu," jawab Janos.

 

"Siapa bilang mengemudi harusselalu pakai SIM,"bantah Hollossy. "Kamu boleh percaya atau tidak, saat ini polisi di lima negara menganggapku sebagai buronan. Tapi aku 'kan tidak boleh berhentimenyetir di negara-negara itu. Jadi, apa masih adagunanya SIM buat orang seperti aku?"

 

Hollossy lalu "memotivasi"Janos, betapa suksesnya ia selama ini sebagai penjahat, karena nyaris tak pernah tersentuhhamba hukum. Menurut Hollossy, polisi Hungaria, Austria, Swiss, Jerman, dan Swedia selalu gagal menangkap dan memenjarakannya secara   permanen,   dan   sampai   saat   in masih   terus   memburunya   untuk mempertanggungjawabkan perampokan sejumlah bank, pemilikansenjata api ilegal, sertabeberapa percobaan pembunuhan.

 

Hollossy juga bercerita, sebelum sampai di Luebeck, Jerman, petualangan terakhirnya adalah meloloskan diri dari sebuah penjara di Swedia, tempat ia seharusnya menjalani hukuman 20 tahun penjara.Dalam hati, Janos merasa ngeri. Stefan  yang  duduk  di  sampingnya, ternyata  jauh  lebih  buruk  dari  Stefan  yang dikenalnya selama ini. Sambil mengemudi, pikirannya kembali melayang,ke saat pertama kali dia bertemu Hollossy dan Cornelia.Sebuah pertemuan yang sangat mengesankan ....

 

...  JanosTelek datang ke Luebeck,Jerman, sebuah kota di  pinggir laut Baltik, setelah  ditawari  bekerja  sebagai  salesman  sebuah  perusahaan  margarin.  Ia gampang  mendapat  pekerjaan,  karena  kefasihannya  berbahasa  Jerman,  yang hampir sama dengan kemampuannya berbicara dalam bahasa-bahasa semenanjung Balkan  lainnya.  Kepandaian bercakap-cakap dalam  berbagai  bahasa  pula  yang membuatnya berkenalan dengan StefanHollossy.

 

Stefan, pria kelahiran Hongaria, sedang nongkrongdi bar Blue Mouse, tempat gaul malam terkenal di Luebeck. Saat itu, Janos menyapa Stefan dalam bahasaHongaria. Begitu senangnyaStefan, sampai-sampai ia mentraktir Telek sepanjangmalam. Usia Stefan tak beda jauh dengan Janos. Stefan mengaku sedang merintiskarir sebagai bintang iklan. Janos begitu terkesan pada kawan barunya itu, yang sangat gampang menghamburkan uang. "Penghasilannya pasti besar," cetusnya dalam hati.

 

Janos baru tahu pekerjaan Stefan "yang sebenarnya" setelah ia diajak menemui sumberdana yang tak ada habis-habisnya itu. Siapa lagi kalau bukan Cornelia Renz, gadis cantik nan mempesona. Perjumpaan pertama Janos denganCornelia terjadi di Kazoria, sebuah bar bergaya Yunani. "Sayabutuh duit, Cornelia," kata Hollossy, sembari duduk di meja, sambil terus menghisap rokok. "Hebat," desis Janos, "Merek rokoknya sama dengan yang dihisap Al Capone."

 

Tanpa basa-basi, Cornelia mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dan menyerahkannya kepada Hollossy.Janos agak heran, melihat betapa mudahnya Stefan mendapat uang. Ia menduga,kawannya itu mucikari,sedangkan Cornelia pelacur yang punya banyak langganan orang kaya dan terkenal. Namun siapa pun Cornelia, di mata Janos, malam itu ia terlihatluar biasa. Janos bahkan merasa jatuh cinta pada pandangan petama.


Saat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Ketika Stefan pergi ke kamar kecil, Janos memberanikan diri mengajakCornelia kencan. Hebatnya,tanpa berpikir panjang, Cornelia  langsung  menerima.  Sejak  itu,  Janos  makin  sering  bertemu  Cornelia. Sampai akhirnya ia tahu, Stefan dan Cornelia memang berhubungan erat. Namun bukan hubungan mucikari- pelacur sepertididuganya semula.

 

Cornelia memang melacur, tapi tidak dengan tubuhnya. Dia pun memberikan sebagian penghasilannya pada Stefan dengan "sukarela". Hubungan mereka lebih mirip sepasang kekasih, atau setidaknya gadis manis dengan centengnya ....

 

Korban pertama

Janos kembali terbangun dari lamunan, ketika mobil yang dikendarainya hampir bersenggolan denganmobil lain. Di kursi sebelah, Stefan mulai mengocehlagi. Dari ocehan Hollossy,Janos jadi tahu, Cornelia merupakan korban pertama yang meninggal di  tanganStefan. Sebelumnya,penjahat itu  tidak pernah membunuh orang,meski korban yang dilukainya tak terhitung.

 

Stefan bukan orang yang gemar membunuhuntuk kesenangan. Ia melakukannya untuk  memecahkan kebuntuanatau  jika  memang benar-benar dibutuhkan. Saat merampok bank misalnya, ia tidak pernah menembakorang-orang di dalam bank yangtidak melakukan perlawanan. Baru jika ada yang mencobamacam-macam, dengan senang hati dia akan menembaknya sampaimati.

 

"Mungkinkah Stefan menembakCornelia untuk memecahkan kebuntuan?" tanya Janos, lagi-lagi hanya di dalam hati. "Tapi mengapa harus Cornelia? Mengapa pula harus diselesaikan menggunakan pistol? Bukankah segala sesuatunya masih bisa dibicarakan? Cornelia sama sekali tidak layak mati dengan cara seperti ini. Dia perempuan  baik,  bahkan  sangat  baik,"  Janos  mencoba  menekan  emosi  yang melecut hati.

 

Cornelia memang perempuan baik-baik. Dia bukan pelacur seperti diduga Janos sebelumnya. Ia wanitapemijat terlatih berjari "emas" yang memiliki diploma dan tahu seluk-beluk pijat kesehatan. Bekerja di Little Sea Castle, sebuah hotel mewah di pantai Timmendorf, Teluk Luebeck, beberapamil di sebelah utara kota. Gajinya di hotelmewah itu lebih dari mencukupi. Sampai akhirnya dia bertemu Stefan Hollossy di Nautic Bar, tempat gaul malam yang cukup laris di Luebeck.

 

Layaknya orang Hungaria,Hollossy berwajah dan penampilan menarik. Meski tidak tinggal serumah dengan Cornelia, mereka sering menghabiskan waktu bersama. Sayangnya, Stefan yang tidak mempunyai pekerjaan tetap mempunyai gaya hidup yang   bisa   membuat   semua   pacar-pacarnya   sengsara.   Ia   dikenal   gemar menghambur-hamburkan uang  di  bar.  Selera gaul  dan  cara  berpakaiannya pun meniru kalangan the have.

 

Berbekal tabungan Cornelia, Stefan membeli Fiat 124 berwarna hijau terang, agar bisa bolak-balik Luebeck - Timmendorf tanpa harus naik bus. Cornelia, tentu saja tak dapat terus menerus menopang gaya hidup Hollossy. Lama-kelamaan, rekening tabungannya makin menipis.Saat itulah, Stefan menyarankan agar Cornelia "melacurkan" jari-jemari emasnya.

 

Menurut lelaki perlente itu, dengan keahlian dan pengalamannya, Cornelia layak mendapat penghasilan yang lebih besar.Untuk itu, ia tidak boleh terpaku hanya pada "pijat kesehatan". Sebagai usaha sampingan, Cornelia mestinya juga menawarkan "pijat organ-organ khusus"bagi pelanggan yang menginginkan. Sialnya, petuah sesat Hollossyitu ditelan begitu saja oleh Cornelia.


 

Aneh  memang,  Cornelia  yang  cantik,  terlatih  dan  pintar  mau  saja  menuruti permintaan Stefan. Apalagibelakangan terbukti, ia sebenarnya tidak betul-betul jatuh cinta pada lelaki itu. Cornelia jatuh cinta (lagi) pada Janos, cinta pada pandangan pertama. Dia bahkan terkesantak takut pada Hollossy.Jadi, sebenarnya tak ada alasan Cornelia melacurkan jari-jari emasnya, hanya untuk membiayai gaya hidup Stefan.

 

Meski singkat, Janos merasa beruntung sempat merasakankebahagiaan bersama Cornelia. Mereka berpacaran seperti ABG yang baru saja mengenal cinta. Keduanya tinggal di apartemen Cornelia di Timmendorf, membuka tabungan baru, serta menikmati tiap akhir pekan dengan makan malam di berbagai tempat makan murahan. Tidak seperti Stefan,Janos tidak suka menghambur-hamburkan uang di bar atau tempat-tempat makan mahal. Mereka merasasangat klop.

 

Stefan yang menciumhubungan Janos dan Cornelia, satu kali pun tidak pernah menyatakan  keberatannya.  Sampai  suatu  sore,  3  April  1975,  ia  menelepon temannya itu. Stefan bilang, dia punya "penawaran bagus" untuk Janos. Namun ketikatak lama kemudian Stefansudah muncul di pintu apartemen, Janos sadar lelaki itu sedang merencanakan sesuatu. Sebuah kejutan yang tampaknya sudah dipersiapkan jauh-jauh hari.

 

Peristiwanya   berlangsung   sanga cepat.   Jarak   antar kedatangan   Stefan, percakapan singkatnya dengan Cornelia, dengan aksinyamemgeluarkan pistol dan menembak kening Corneliadari jarak dekat, hanya sekitar5 menit ....

 

Berkelahi pun belum pernah

Janos melirik Hollossy. Lelaki itu tampak tenang, sangat tenang. Sepanjang perjalanan, satu per satu pertanyaan tentang Stefan, yang selama ini berkeliling di benakJanos, mulai terjawab. Termasukpertanyaan, mengapa Janos sebagai satu- satunya  saksi  mata  pembunuhan Cornelia dibiarkantetap  hidup,  bahkan  diajak berkelana oleh Stefan.

 

"Aku bosan sendirian. Terus terang, aku menyukai kamu Janos. Aku ingin kamu menjadi partnerku. Pasangan dalam melakukan kejahatan," tegas Hollossy, suatu ketika.

 

"Mulai sekarang,kamu harus membiasakan diri berpikir praktis.Kita butuh uang untukmakan, minum, bayar hotel, menikmati perempuan, beli baju, dan beli bensin. Di luar sana banyak sekali orang kelebihan uang. Jadi, sah-sah saja jika kita mengambilnya sedikit dari mereka 'kan?" sambung Stefan.

 

Janos cuma menjadipendengar yang baik.

 

"Cara paling gampang, kita rampok toko saja. Orang yang ada di sana pasti membawa uang. Ada yang sedikit, ada pula yang banyak.Tapi kalau mau uang yang sangat banyak, kita harus merampok bank. Yang terakhir ini tingkat kesulitannya tinggi. Aku enggak akan mengajak kamu merampok bank, sebelum punya pengalaman melaksanakan "operasi kecil". Pernah membunuh orang dengan menggunakan pisau?" tanya Hollossy.

 

"Tidak," sahut Janos singkat. Ah, jangankan membunuh,belajar jurus-jurus berkelahi saja Janos tidak pernah.Buat dia, kekerasan hanya bikin pusing kepala.

 

"Tidak masalah. Kita masih punya banyak waktu untuk latihan."


 

Untuk kesekian kalinyaJanos terdiam.

 

"Bagaimana kalau latihan kita mulai denganmerampok toko? Aku akan mengalihkan perhatian pemiliknya dengan mengajak dia ngobrol.Lalu kamu berputarke arah belakang, mengancamnya pakai pisau," cetusStefan.

 

Janos masih mencarijawaban terbaik, ketika Stefan kembali nyerocos.

 

"Tapi sepertinya lebih baik jika kamu memukul kepalanya pakai besi. Kamu bilang tadi, belum pernah memakai pisau, 'kan?"

 

Janos kini  manggut-manggut, bukannyasetuju pada  rencana Stefan. Namun ia mengerti, mengapa Stefan selalu berusahamendorongnya melukai atau membunuh orang lain. "Sekali saja aku melukai orang,apalagi sampai membunuh,aku akan jadi buronan, sama seperti dia, sehingga tak ada jalan lain, kecuali menjadi pasangannya," ucap Janos, tentu di dalam hati.

 

Masalahnya, kapan ia harus bertindak? Menghadapi Stefan, modal nyali saja tak cukup. Harus ada strategi khusus. Ah,bicara soal nyali dan strategi, Janos kembali teringat peristiwa mengerikan siang itu ....

 

Jika terjadi dalam novel atau film, pasti akan digambarkan sosok Janos sedangyang marah besar atas pembunuhan Cornelia. Janos mungkinsaja akan merebutpistol Stefan, lalu balas menembakbanjingan itu  di  jidatnya. Sayangnya, kejadianitu terjadi  pada  kehidupan  nyata.  Janos  hanyalah  salesman  perusahaan  margarin, bukan Superman atau Batman. Dia bahkan tidak yakin Stefan akan membiarkannya tetap hidup, karena dialah satu-satunya saksi mata pembunuhan Cornelia.

 

Jarang sekali ada pembunuh yang mau menoleransi kehadiran saksi mata. Makanya dia begitu lega, lega yang teramatdalam, ketika tahu Stefan memasukkan kembali pistolnya ke kantungjas.

 

"Ayo kita angkat mayatnyake tempat tidur.Tuhan tahu, tempatini dan waktu kita juga sangat sempit," ajak Stefan pada Janos.

 

Dalam keadaan terkejut, tak mudah bagi Janos untuk menuruti perintah Stefan. Dia juga tidak tahan melihat darah yang mengucur dari lubang di kepala Cornelia.Yang paling membuat hatinya sedih, adalah mata gadis itu terbuka lebar, seolah memandangnya dengan pandangan minta tolong. Karena Janos tak kunjung bergerak,  akhirnya  Hollossy  sendiri  yang  memulai  mengangkat mayat  Cornelia. Beberapa saat  kemudian,baru Janos membantumeletakkan mayat Corneliadi tempat tidur.

 

Janos sempat kaget ketikatiba-tiba Stefan berkelebat.

 

"Nenek  itu,  dia  masih  tinggal  di  sebelah  rumah,  'kan?  Jangan-jangan, dia  ikut mendengar suara tembakan tadi," sergah Stefan. "Aku tidak mau ada saksi mata lain." Stefan segera mengeluarkan pistol dari balik jaketnya, lalu menyelinap keluar, menuju apartemen sebelah.Janos seorang komunis,tapi menghadapi situasi seperti ini, ia berlutut, meski tak tahu harus berdoa pada siapa. Seluruh persendiannya lemas.


Beberapa saat kemudian, Stefan kembali. "Diatidak ada di rumah," teriaknyapada Janos. Janos menarik napas lega, karena tak ada pembunuhan lagi. Namun, bagaimana dengan nyawanyasendiri?

 

Di Ratzeburg, 20 mil dari Luebeck,mobil mereka mengalami masalah. Hollossy memutuskan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju toko logistik terdekat. Setelah itu, mereka bermalam di rumah teman Stefan. Malam yang berat buat Janos, karena hampir sepanjangmalam, dia tak dapat memejamkan mata, memikirkan kejahatan apa kira-kirayang akan dilakukannya bersama Stefan besok.

 

Esoknya, pagi-pagi sekali mereka sudah naik kereta api menuju Hamburg.Sampai detik itu, Janos tak pernah mengeluarkan uang sepeser pun. Stefan betul-betul menepati janjinya, berlaku seperti bos mafia, yang bertanggungjawab atas semua yang terjadi pada anak buahnya."Selama ikut aku, kamu tidak perlu membayar apa pun," bilang Stefan.

 

Jam sembilan pagi mereka sampai di Hamburg. Siang dan sorenya, mereka menghabiskan waktu mensurvei berbagaitoko perhiasan. Sepertibiasanya, Janos tak banyak bicara. Apalagi setelah Hollossymenunjukkan tiga pistol yang selalu dibawanya   ke   mana-mana.   "Orang-orang   selalu   bilang,   mengantungi   pistol terkokang itu berbahaya, tapi aku lebih suka mati karena pistol sendiri, daripada tertembak musuh karena pistolkutidak siap," ucap Hollossy setengahmengintimidasi.

 

Mereka menginap di Union Hotel. Hollossy mengunci pintu dan memasukkan kuncinya ke kantung celana, lalu kkkrrrr, tidur pulas. Janos sempat mempertimbangkan menibani kepala Hollossy dengan lampion. Namun, nyalinya mengkerut jika mengingat refleks Hollossy bak macam kumbang.Pertimbangannya terbukti benar. Jam dua pagi, Hollossy dengan sigap meletakkan pistol di telinga kanan Janos, setelah mendengar bunyi sirine mobil polisi yang sedang berpatroli. Betul-betul mirip macankumbang.

 

Celah di antara celah

Esoknya,  hampir  seharian  mereka  habiskan  untuk  mensurvei kembali  toko-toko perhiasan. Begitu sore tiba, Hollossyyang tidak pernah menginap dua malam berturut-turut di satu tempat, memilih menghabiskan waktu di sebuah hotel di pinggiran kota. Seperti kemarin malam, lagi-lagi Hollossymembangunkan Janos di paruh pagi. Kali ini bukan karena mendengar mobil patroli polisi.

 

"Aku sedang berpikir tentang uang kontan. Kita butuh uang kontan. Bagaimana kalau kamu turun dan membunuh perempuan tua pemilik hotel ini, lalu merampok uangnya?"

 

Janos kaget alang kepalang.

 

"Tapi kalau kita merampok tempat ini, polisi akan mencari-cari kita. Padahal kita sudah berencana merampoktoko perhiasan," tolaknya halus.

 

Hollossy berpikir sejenak, lalu mengangguk.

 

"Masuk akal. Tak kusangka kamu ternyatapartner yang pintar."

 

Mereka lalu  kembali "tidur",  meski  praktiknya, mata  Janos  tak  pernah  terpejam sampai pagi tiba.


Paginya, lagi-lagi Hollossy mengajakJanos mengintai toko-toko perhiasan, kali ini yang  berjejer  di  sepanjang  Spitaler  Street,  kawasan  yang  lumayan  ramai  oleh pejalankaki. Janos makin deg-degan. Firasatnya mengatakan, inilah tempat paling tepatuntuk menghindari perbudakan Hollossy. Namun,bagaimana caranya?

 

Janos terus mencari celah. Suatu saat, Hollossy tampak sangat serius mengamati pintumasuk sebuah toko perhiasan. Nah, ketika sang residivis mencaricelah masuk, Janos  justru  menemukan celah  untuk  melarikan  diri.  Pelan-pelan, dia  bergeser menuju ujung sebuah gedung, menghilang dibalik gedung itu, lalu sekuat tenaga berlari menuju sebuah pusat perbelanjaan, masuk dari satu pintudan keluar dari pintu yang lain. Janos kemudian menyetop taksi. "Tolong antarkan aku ke kantor polisi," pintanya singkat.

 

Sepuluh menit kemudian, Janos sudah bersaksi di depan Inspektur FrankLuders dan Detektif Max Peters dari Kantor Kepolsian Hamburg. Oleh Luders, semua cerita Janos dikonfirmasi lewat telepon pada kepolisian Luebeckdan Timmendorf. Begitu mendapat kabar positif, yakni ditemukannya mayat Cornelia, Frank Luders dan Max Peters langsung meblokir SpitalerStreet dan memeriksa gedung-gedung di sekitarnya. Polisi juga berjaga-jaga di stasiun dan gerbang keluar kota lainnya.

 

"Menurut Anda, di mana kira-kira dia sekarang?" tanya Luders.

 

"Entahlah. Dia berencana merampok salah satu toko perhiasan yang kami survei. Tapi dia sendiri belum memutuskan, toko mana yang akan dirampok," jawab Janos.

 

"Sersan, kumpulkan data semua toko perhiasan. Tempatkanminimal satu orang polisi di sekitarnya," perintah Luders pada Peters.

 

Namun Hollossy tetap Hollossy. Jika tekadnya sudah bulat, tak satu pun rintangan dapat  menghalangi  niatnya.  Tak  juga  polisi.  Siang  menjelang  sore,  penjahat berdarah  dingin  itu  merampok  Hoellinger  Jewellery  di  Alstertor  Street.  Dengan senjata otomatis 9 mm, dia melukai pemilik toko Josef Hoellinger (74tahun), menembak mati istri Josef, Maria (66 tahun), dan pembantu mereka Cristel Semmelhack (33 tahun).

 

Hollossy  lalu  membajak truk  yang  dikemudikan Werner  Novak.  Novak  selamat, setelah lari terbirit-birit meninggalkan truknya, begitu tahu status Hollossy dari radio. Beberapa saat kemudian, Hollossy menembak Walter Klein, yang ditemuinya di Ifflland Street.

 

Polisi yang datang ke lokasi atas laporanNovak, menjumpai Klein dalam keadaan luka parah. Namun Klein sempat menunjuk gedung Grauman's Way No 20 sebagai tempat  Hollossy bersembunyi. Polisi,  didahului oleh  pasukan khusus,  menyerbu masuk. Namun,dor! dor!, Hollossy memberikan perlawanan sengit. Gas air mata pun melesak  ke  dalam  gedung,  seiring  desingan  peluru  dari  kedua  belah  pihak. Beberapa saat kemudian, tembak menembakreda. Polisi mendapat seorang lelaki terbaring tak bergerak, dengan luka tembak di bahu kanan, kepala, dan kaki kiri. Hollossytelah mati.

 

Belakangan diketahui, peluru 9 mm nan mematikan yang bersarang di kepala Hollossy, ternyata berasal dari pistolnya sendiri! Sampai kematikannya, Hollossy masih ingin menentukan nasibnya sendiri.

 

(Kisah Nyata/JohnDunning/Icul)


Pramuka-07

Kami membina, mendidik dan mendampingi generasi muda putra-putri pertiwi untuk hantarkan mereka raih mimpi setinggi Asa, Walau tak sebesar debu, semangat pengabdian kami : berkontribusi mewujudkan kehidupan masyarakat dunia yang 'Damai Santun, Trampil dan Humanis', melalui para pembina, pendidik pada seluruh tingkat satuan dan gugus depan diwilayah pembinaan Kwartir Ranting 20.07 Gerakan Pramuka Kec. Kedung Kab. Jepara, Jawa Tengah

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak