Cerita : HOROR DI MOUNT VERNON

 HOROR DI MOUNT VERNON

 


Singapura tahun '70-an, bukanlah negeri yang bersahabat buat trio warganya, Ong Chin  Hock, Yeo  Ching Boon dan  Ong  Hwee  Kuan. Mereka merasakanbetapa tersiksanya hidup dengan penghasilan pas-pasan. Sementarabiaya hidup makin hari kian tinggi. Malam itu, 21 April 1978, seperti biasanya tiga pemuda berumur 20 tahunan itu bermain biliar di Kallang Amusement Centre (KAC). Hanya di tempat itulah, mereka dapat tertawa lepas, melupakan segala beban.

 

Selepas nyodok, mereka ngobrol ngalor ngidul di sebuah taman, tak jauh dari KAC. Banyak hal diobrolkan, mulai masalahpolitik sampai kesehatan. Tapi ujung-ujungnya, tak jauh dari urusan perut. Maklum, kecualiChin Hock yang sedang menjalani wajib militer, Ching Boon dan Hwee Kuan statusnya pengangguran.

 

"Hidup pasti jauh lebih mudah,kalau kita punya banyak duit," ujar satu dari mereka. "Ya, dengan duit, kita bisa berbuat apa saja."

"Tapi dari mana kita bisa mendapat banyakuang?"

 

Ketiganya terdiam. Kuan yang berwajah kasar melontarkan ide setan,"Bagaimana kalau kita merampok?"


"Ide gila. Tapi boleh juga,"sahut Yeo yang bertampang innocent.

 

"Tapi kita harus punya pistol.Zaman sekarang, lebih enak merampokpakai pistol," balas Kuan.

 

"Ya. Aku tahu cara mendapatkan pistol dengangampang," cetusYeo.

 

Ia lalu bercerita tentang tempatnyaberdinas saat wajib militer dulu,markas polisi yangjuga berfungsi sebagai asrama pasukan cadangan, di Mount Vernon. Tentang penjaga pos kecil di pintu gerbang, yang hanya dijaga satu orang dan lebih sering dipercayakan pada polisi wajib militer. Juga perihal waktu terbaik untuk melakukan tipu daya, yakni lewat jam dua belas malam, ketika konsentrasi petugas jaga mulai kendur.

 

"Yang belum aku tahu, bagaimana caranya merebut senjatapetugas jaga."

 

Mereka berpikir keras dan saling melontarkan ide. Tapi sampai jam sebelas malam, tak jua terbersit jalan keluar. "Oke. Sekarang kita pulang.Tapi ingat, kita harus cepat mencari solusi masalah ini," bisik Yeo pada kedua sohibnya.

 

Putus sekolah

Yeo, Hock dan Kuan berteman sejak kecil. Ong Chin Hock alias Ah Hock masih bujang, tinggal di New Upper Changi Road, anak buruh bangunan. Ia putus sekolah, sehingga terpaksa mengikuti jejak bapaknya sebagai kuli bangunan, sebelum akhirnya masuk wajib militer.

 

Sedangkan Yeo Ching Boon, dikenal juga sebagai Ah Pui atau Freddy, masih tinggal bersama orangtuanya. Anak tertua dari empat bersaudara ini pernahdikeluarkan dari sekolah  karena  berkelahi.  Pernah  juga  bekerja  sebagai  penjaga  gudang  pada sebuah perusahaan tekstil,namun dikeluarkan, lagi-lagi karena berkelahi.

 

Hwee Kuan alias Ah Kuan lain lagi. Ia sempat menjadi anggota kelompok Sio Kun Tong, yang kerap melakukanaksi pencopetan di sekitar Angullia Road. Tahun 1976, Kuan dan teman-temannya ditangkap polisi, sehabis merampok turis berkewarganegaraan  Malaysia.  Bulan  April  1977,  ia  masuk  rumah  rehabilitasi, karena kecanduan narkoba.

 

Keesokan harinya, tiga sekawan bertemu lagi di KAC. Sorenya, para pengangguran banyak acara ini melanjutkan aktivitasnya denganmenonton pertandingan sepakbola di bekas Sekolah Dasar mereka, Tu Li. Di salah satu sudut sekolah inilah, mereka kembali mendiskusikan niat jahatnya.

 

"Sebagai modal, kita juga butuh senjata tajam. Aku sarankan pakai pencungkil es saja," ujar Yeo.

 

"Aku setuju. Tapi kita juga perlu pisau,"balas Kuan. "Duitnya dari mana buat beli pisau?" sergah Yeo.

Hock  membuka  jam  yang  melingkar  di  tangannya.  "Jual  saja  ini,  pakai  untuk membeli pisau," katanya.

 

Yeo tertegun sebentar, lalu mengangguk dan tersenyum. "Begini kira-kira skenarionya. Keculai Kuan, kita semua memakai seragam pakaian wajib militer. Dengan begitu, akan lebih mudah mendekati pos penjagaan."


 

"Menurutku, kita sebaiknya jangan pakai seragam," komentar Hock. "Disana kan ada asrama. Kalau terlalu mencolok, berbahaya. Jika terjadi sesuatu, polisi-polisi yang tidak sedang bertugas bisa menyulitkan kita."

 

"Jadi, gimana dong?" nada bicara Yeo terdengarputus asa.

 

Lagi-lagi mereka saling melontar ide. Namun dari beberapa ide yang dibahas, tak satu pun disetujui secara aklamasi. Sampai akhirnya, Yeo mengetuk palu."

 

"Oke, apapun recananya, tak boleh terlalumencolok. Yang penting kita setuju untuk segera melaksanakan rencana ini." Anggota tiga sekawanyang lain hanya manggut- manggut. Yeo pun melanjutkan,"Kita akan mulai bergerak jamdua dinihari, dua hari dari sekarang. Setuju?"

Hock dan Kuan mengangguk. Bajak taksi

Dua  hari  kemudian,  persisnya  sore  menjelang  malam,  tiga  sekawan  seperti

biasanya berkumpul di KAC. Yeo sempat main biliar dengan sejumlah temannya, sampai sekitar pukul 21.00. Setelah itu, Yeo pergi ke sebuah kawasan pertokoan, untuk menjualjam tangan Hock, sekalian membeli dua buah pisau dapur.

 

"Jam-jam segini banyak patroli polisi berkeliaran. Enggak aman membawa-bawa senjata  tajam.  Mending  pisau-pisau  ini  disimpan  di  rumahku  dulu,"  tegas  Yeo. Setelah menyimpan pisau, Yeo tak langsungkeluar. Ia memotong sebuah tali terbuat dari nilon menjadi empat bagian. Cukup untuk mengikat tangan, kaki, atau menjerat leher. Lalu memasukkan tali-tali tadi dan alat pencungkil es ke dalam travel bag kecil kepunyaan adiknya.

 

Jam dinding menunjukkan angka 10, masih empat jam lagi dari jadwal yang mereka rencanakan.

 

"Aku masih butuh duit buat transportasi," bilangYeo memecah kesunyian.

 

"Jangan khawatir,aku punya seorangteman yang bisa dipinjami uang," tanggap Hock. Ditemani Kuan, Hock kemudian berangkat menuju rumah temannya di Lorong Koo. Ketiganya berjanji bertemu kembali pada pukul 11.45 di sekitar Kallang Bahru. Namun saat bertemu kembali, Hock ternyata datang dengan tangan hampa. Hanya Yeo berhasil meminjam Sin 10 dolar dari seorang teman.

 

Sebagian uang itu mereka habiskanuntuk makan dan minum di sebuah kafe.

 

Setelah kenyang, Yeo menuturkan rincian rencananya. "Kita akan beroperasidari atas taksi. Di tengah jalan, kita bajak taksinya. Hock lalu mengambil alih kemudi, sedangkan Kuan duduk di kursi belakang, pura-pura mabuk.Aku sendiri, keluar taksi dan pura-pura minta bantuan dari polisi di pos jaga. Setelahpenjaga mendekat, aku akan mendorongnya masuk taksi, kemudian kita culik dan rampa senjatanya. Bagaimana?"

 

"Tapi jangan biarkan polisi dan sopir taksinya lolos begitu saja," timpal Kuan. "Kamu

'kan  tahu,  aku  punya  catatan  di  kantor  polisi.  Kalau  sopir  taksi  dan  penjaga mengenali ciri-ciriku, kita akan langsung diciduk."

 

"Baiklah, kita main aman. Keduanyaharus mati. Setuju?" usul Yeo.


 

Kuan tampak senang, sedangkanHock tak berkomentar sepatahkata pun.

 

Tepat pukul 01.30, Yeo menyempatkan diri pulang ke flatnya, mengganti pakaian dengan t-shirt merah dan celana biru gelap. Ia memutuskan tidak memakai pakaian seragam wajib militer,seperti rencana semula. Kemudian keluar dengan menenteng travelbag, dengan pencungkil es terselip di pinggang.

 

"Semua siap?" tanya Yeo.

"Siap," sahut Kuan dan Hock serentak. Terjerembab di got

Chew  Theng Hin,  sopir  sekaligus pemilik  taksi,  tentutak  menyadari nyawanya

sedang di ujung tanduk. Jarang-jarang jam segini ia  masih berada di  belakang kemudi. Biasanya ia sudah pulang ke rumahnya di Selegie House. Namun entah mengapa, pagi itu ia masih ingin berputar-putar mencari penumpang. Hatinya begitu gembira, ketika melihat tiga pemuda melambaikan tangan, menyetop taksinya.

 

Meski sudah berusia 60 tahun, lelaki berambut pendek ini masih kelihatan energik, setidaknya jika dibandingkan dengan orangtua seusianya.Dengan tenang, Chew ThengHin membuka pintu depan, mempersilakan penumpang nomor satu masuk. Penumpang nomor dua dan nomor tiga duduk di kursi belakang. Penumpang nomor satu dengan dingin berkata, "Asrama polisi Mount Vernon!"

 

Tak sedikitpun terbersit kecurigaan dalamhati Chew. Ya, siapa curiga, jika penumpangnya bertujuan  ke  kantor  polisi?  Kalau  bukan  penegak  hukum,  pasti korban kejahatan yang hendak melaporkan kemalangannya. Chew yangsudah hafal kawasan itu, segera meluncurmelewati Jln. Bendemeer, lalu ke Jln. Aljunied.

 

Saat mendekati Police Reserve Unit (PRU) Mount Vernon, penumpang nomor satu meminta Chew belok kiri, ke arahgerbang belakangMount Vernon yang selalugelap gulita. Chew mulai menduga-duga, hendak ke mana sebenarnyatujuan tiga orang ditaksinya. Akhirnya, ketika  taksi  hampir  sampai  gerbang belakang PRU  Mount Vernon, penumpang nomor satu menukas cepat, "Berhenti!" Chew pun menginjak pedal rem.

 

Saat itulah, tiba-tibapenumpang nomor dua menempelkan pisau di leher Chew. Lelaki tua itu dapat melihat kilatan dan merasakan dinginnya senjata tajam pengiris daging dan sayuran tersebut.Setelah itu, penumpang nomor satu menutup mulut Chew dengan kain. Sambil memamerkan pencungkil es, ia berkata, "Jangan coba- coba melawan atau membuat gaduh." Ia lalu mengambil tali dan mengikat tangan Chewerat-erat.

 

Sampai di sini, Chew mulai sadar, penumpangnya pagi itu bukan manusiabaik-baik. Ia juga mulai punya firasat, sesuatu yang sangat buruk bakal menimpa dirinya. Sejurus  kemudian,penumpang nomor  tiga  turun  dari  mobil,  berjalan  ke  depan kendaraan, kemudian membuka pintu tempat Chew disandera. "Turun!"bentaknya. Chew merasa, ini baru awal dari perlakuan buruk yang bakal segera diterimanya. Instingnya berkata, meski menuruti semua perintah mereka, belum tentu ia akan dilepas begitu saja.

 

Akhirnya ia memutuskan memberikan perlawanan. Namun gerakanspontan Chew tak banyak menolong. Penumpang nomor satu mendorongnya dengan bahu, sedangkan penumpangnomor  tiga  mempermainkan badan  Chew  dengan  lutut.


Breppp! Sesuatu yang  mengerikan terjadi. Penumpangnomor dua  menusukkan pisau  ke  perut  sang  sopir  taksi  malang.  Chew  tersungkur  di  selokan,  sembari merintih menahan sakit.

 

Penumpang nomor tiga segera duduk di depan kemudi.Taksi baru saja hendak tancap gas, ketika tiga penumpang yang sudah dikuasai nafsu setan itu melihat tubuh Chew merangkak naik dari selokan."Dia masih hidup," teriak salah satu penumpang. Penumpang nomor satu dan penumpang nomor dua spontan turun dari mobil, dan tanpa ba bi bu menghujamkan pencungkil es dan pisau dapur ke leher Chew.

 

Dalam tempo sekejap, Chew terguling, kembalimasuk got, tapi tubuhnya tampak masih bergerak-gerak. Tanpa membuang waktu, penumpangnomor satu dan penumpang nomor dua menghampiri lelaki tua yang sedang meregang nyawa itu. Secara bersamaan, mereka menusukkan pisau dan pencungkil es ke daerah vital sopir malang. Brepp! Kali ini Chew tak lagi bergerak.

 

Pagi itu, nyawa seorang kakek tak berdosa lenyap sia-sia di tanganYeo, penumpang nomor satu, Kuan si penumpang nomor dua dan Hock, penumpang nomor tiga. Sebaliknya, dengan pandangannanar, tiga sekawan itu malah bertukar kegembiraan. Rencana pertama sukses terlaksana. Sasaran pembantaian berikutnya, bakal menyusul. Setelah Hock mengarahkan taksi rampasan mereka ke pos penjagaan, persis di depan pintu gerbang PRU Mount Vernon.

 

Telunjuk terpotong

Lee Kim Lai masih sangat muda ketika mendaftarwajib militer. Usianyabaru delapan belas tahun. Ia berasal dari keluarga baik-baik, anak kedua dari empat bersaudara. Sebagai polisi wajib militer, ia tak boleh memilah-milih tempatberdinas. Itu sebabnya, dia bahagia saja saat ditempatkan di Mount Vernon. Pagi itu, dia baru saja menggantikan Koh Kah Kway, rekannya yang telah bertugassejak pukul 13.00.

 

Seragam tebal tak sanggup melindungi Kim dari serangan dingin yang menusuk. Meski begitu, ia tetap berusaha menunaikan tugas dengan penuh rasa tanggungjawab. Baru beberapa menit menjaga gerbang, ia melihat sebuah taksi kuning melintas di depan pos jaga. Dari tempatnya berdiri,Kim dapat melihatdengan jelas seorang pemuda keluar dari pintu depan, lalu menghampirinya.

 

Pemuda itu, Yeo, menunjukkan kartu keterangan wajib militernya. Kim memperhatikan dengan seksama kartu yang ditunjukkan Yeo. Sesekali, matanya melirik ke taksi kuning yang mesinnyamasih hidup. "Jadi, kamu wamil yang tinggal di asrama ini?" tanya Kim ramah.

 

"Betul sekali. Boleh aku minta tolong untuk memapah kawanku yang mabuk? Badannya berat sekali.Dia sekarang tergeletak di kursi belakang taksi," sambung Yeo, sembari menunjuk ke arah taksi kuning.

 

"Dia tinggal di asrama ini juga?" "Betul.

"Memangnya kaliandari mana?" tanya Kim, mencoba tetapramah.

 

"Kami berdua baru saja jalan-jalan dan bertemu beberapa teman. Tapi dasar bandel, dia kelihatannya minum terlalu banyak. Akhirnya,seperti kamu lihat, malah menyusahkan teman," bohongYeo.


 

Kim calon polisi yang baik. Ia merasa sebagai seorang wajib militer, tugasnya tak hanya sebatas perintah yang diberikan komandan, tapi juga membantu sesama yang membutuhkan pertolongan. Apalagi yang membutuhkan pertolongan sesama penghuni asrama. Itu sebabnya, dengan senang hati ia berjalan menuju pintu belakang taksi. Saat pintu dibuka, ia  memang mendapati seorang lelakitengah berbaring di kursi.

 

Namun ia terkejut saat Yeo tiba-tiba mendorongnya masuk ke dalam taksi. Lebih terkejut  lagi  setelah  tahu,  pemuda  yang  sebelumnya  berbaring  di  kursi,  Kuan, ternyata tidak mabuk sama sekali. Kim mencoba melakukanperlawanan. Tapi dari belakang, Yeo dengan pencungkil esnya langsung mengancam. "Tetap di dalam dan jangancoba-coba melawan," bisiknya tepat di telingaKim.

 

Setelah menutup pintu, Yeo bergegas ke pintu depan. Saat itu, ia sempat melihat beberapa orang di lantai satu dan lantai dua markas polisi Mount Vernon memperhatikannya. Untuk menghindari kecurigaan, Yeo mempercepat langkahnya.

 

"Cepat kabur! Ada beberapa polisi di atas sana sedang memperhatikan kita," perintahnya pada pada Hock. Sedetik kemudian,Hock sudah melarikantaksinya menuju arah Jln. Aljunied. Sementara di kursi belakang, Kuan masih setia mengancam Lee dengan pisau dapur. "Manapisau satunya lagi?" teriak Yeo pada Kuan. Kuan menunjuk sela di antara dua kursi depan.

 

"Aku engak punya uang. Benar-benar enggak punya uang!" pekik Lee. Ia tampak begitu ketakutan.

 

Kuan mulai menempelkan pisau di leher Lee. Namun tanpa diduga, aksi Kuan saat mengambil pistol dari pinggangKim ternyata mendapat perlawanan. Dalam pergumulan,  pistol  sempat  jatuh.  Yeo  yang  bearda  di  kursi  depan  langsung membantu Kuan. Ia berbalik badan, seraya menghujamkan pisaunya beberapa kali ke leher Lee. Begitu membabibutanya aksi Yeo, sampai-sampai jari telunjukKuan ikut terpotong.

 

Tubuh Kim sendiri langsung jatuh menghujam jok. Darah segar mengotorikursi belakang taksi. Termasuk kaos dan celanayang dikenakan Kuan.

"Kita harus mengamankan senjatanya. Berikan pisaumu," perintah Yeo pada Kuan. Lima menit kemudian, mereka telah sampai di kawasan Kallang Bahru, ketikaYeo

minta Hock menghentikan taksi.

 

"Pui," kata Kuan pada Yeo. "Kausku berlumuran darah."

 

"Bersembunyilah di belakangsemak-semak," lagi-lagi Yeo memberiperintah. "Aku akan mampir ke flat dan membawakanmupakaian bersih."

 

Yeo lalu berlari menuju flat. Sepuluh kmenit kemudian, ia sudah kembali ke semak- semak  tempat  Kuan  bersembunyi,  dengan  membawa  tas  plastik  berisi  celana panjang biru gelap dan t-shirtwarna putih. Kuan pun berganti pakaian, memasukkan pakaiannya yang berlumurandarah ke dalam tas plastik. Tapi ketika mereka bersiap hendak meninggalkan semak-semak, terjadi sesuatu yang sama sekali di luar perhitungan.


Kantung plastik ditemukan

Malam itu, detektifSiew Man Seng baru saja pulang berdinas. Polisi yang sudah bertugas selama 11 tahun itu berkantor di Kantor Polisi Beach Road. Ayah seorang anak perempuan dan seorang istri ini sudah tinggal di Geylang Bahru selama sekitar empat setengah tahun. Jadi, dia tahu betul daerah tersebut. Pagi buta itu, hatinya sedang berbunga-bunga, karenabaru  saja  sukses menangkaptersangka kasus penipuan sejam sebelumnya.

 

Di persimpangan jalan Geylang Baru dan Kallang Bahru, perjalanannya terhalang lampu merah. Saat menunggu lampu hijau, sepintasdia melihat seseorang berjalan di belakang mobilnya, sambil menenteng bungkusan plastik. Lampu kembali hijau. ManSeng pun belok kiri, menuju arah Geylang Bahru. Namun dari balik spion ia sempat memperhatikan, lelaki yang menyeberang jalanbarusan ternyata menghilang di sebuah jalan buntu.

 

Nalurinya sebagai detektif mencuat. Bertahun-tahun dia bergaul akrab dengan dunia kejahatan dan berbagai tipu muslihatnya.Tingkah laku lelakitadi membuat Man Seng penasaran. Ia segera berbalik arah, mendekati jalan buntu. Dari kejahuhandia melihat sebuah taksi kuning dengan mesin masih menyala. Tak jauh dari taksi, terhampar semak-semak. Lagi-lagi, instingpolisinya memaksa Man Sengmemeriksa lokasi di sekitarnya.

 

Mendekati semak-semak, ia melihat dua orang pemuda, Yeo Ching Boon dan Ong Hwee Kuan. "Sedang apa kalian?" teriak Man Seng, benar-benar memecah kesunyian.

 

Yeo  dan  Kuan  tampak  gugup.  Mereka  punya  feeling,  orang  yang  dihadapinya seorang  polisi.  Dalam  sekejap,  mereka  mengambil keputusan untuk  mengambil langkah seribu.

 

Yeo yang lebih tahu medan, melilih kabur ke arah pertokoan. Sedangkan Kuan menuju blok-blokapartemen di sekitarnya. Namunmalang buat Kuan, dia tidak hanyaberhadapan dengan gelapnya malam, tapi juga medan yang sama sekali belum dikenal. Begitu paniknya, Kuan sampai jatuh, bangun dan jatuh lagi. Kini di depannya terbentang semak belukar. Ia tahu, jika terus lari, lambat laun pasti akan tertangkap. Akhirnya ia memutuskan bersembunyi di salah satu semak.

 

Namun Man Seng bukan polisi ingusan yang gampang dikelabui. Di depan semak- semak itu ia berhenti.Kecurigaannya memuncak ketika melihat jejak kaki, tak jauh darisalah satu semak. Dengan langkah pasti ia mendekat, mengeluarkan pistol dari sarungnya dan membidik semak di depannya. "Cepat keluar!" Kuan pun keluar, masih dengan mata nanar. Meski sempat memberikan perlawanan ketika hendak diborgol, pemuda putus sekolah itu akhirnya tak beradaya di tangan Man Seng.

 

"Mana tasnya?" tanya Man Seng. "Aku buang saat lari tadi."

"Apa isi tasnya?" "Sisir," jawan Kuan sekenanya.

 

"Tadinya kami mau merampok Anda. Tapi begitu tahu Anda polisi, kami mengurungkan niat tadi."

 

"Siapa nama temanmu?"


"Ah Seng."

 

Sekilas, Man Seng melihatnoda darah di kaus yang kenakan Kuan,meskipun ia baru saja bergantibaju.

 

"Noda  darah  siapa  di  kausmu?"  Kuan  berpikir,  mencari  alasan  untuk  berkelit. Akhirnya  ia  menunjukkan jari  telunjuknya yang  beradrah-darah. "Sebelum Anda datang,  saya  berusaha  memecahkan  sebuah  botol,  agar  bisa  dipakai  sebagai senjata. Tapi karena ceroboh, botol tadi malah melukai jari telunjuk saya," Kuan berkilah.

 

Ia terus berusaha mencari tas yang dibuang Yeo dan Kuan. Karena tak memungkinkan melakukan pencariansendirian, Man Seng akhirnya memutuskan membawa Kuan ke kantor polisi untuk diinterogasi. Namun sebelum masuk mobil, Kuan sempat minta. "Aku haus sekali.Boleh minta air?"katanya mencoba mengundang iba.  Sebelum  Man  Seng  bereaksi,  Kuan  telah  melangkah menuju sebuah keran, tak jauh dari semak-semak.

 

Di kantor polisi Beach Road, Man Seng menceritakan apa yang dilihatnya pada Inspektur Polisi Poh Keng How. Tak lama kemudian, tersebarberita penemuan mayat seorang polisi, di dalam taksi kuning, tak jauh dari tempat Man Seng memergoki Yeo dan Kuan. Satuan polisi khusus pun segera segera diterjunkan. Merekabergerak cepat dengan segera menginterogasi Kuan. Namun mereka cukup kesulitan mengorek data dari pemuda lajang tersebut.

 

Berbagai cara telah dilakukan, tapi Kuan lebih memilih tutup mulut. Ia juga menolak disangkutpautkan dengan kasus pembunuhan kejam terhadap sang polisi wamil. Beruntung, waktu tampaknya berpihak pada para detektif. Beberapajam kemudian, mayat sopir taksi malang korbankeganasan tiga sekawan,Chew Theng Hin, berhasil ditemukan.

 

Hasil penyisiran di sekitar lokasi kejahatan juga membuahkan hasil menggembirakan. Kantung plastiktempat Yeo dan Kuan menyimpan pakaian penuh noda darah misalnya, berhasil dilacakkeberadaannya. Kali ini, Kuan tak dapat mengelak lagi, terlebih  setelah  Ong  Hwee  Huat,  adiknya,  mengakui  pakaian  yang  ditemukan memang milik Kuan. Yeo dan Hock pun akhirnya ditangkap, berdasarkan pengakuan Kuan.

 

"Beruntung", tiga sekawan yang sudah kerasukan setan ini tak sempat melanjutkan aksinya. Jika mereka sempat memanfaatkan senjata yang berhasil merekarebut dari Mount Vernon, apalagi menjalankan aksi perampokan, korban kebrutalanmereka pasti bakal lebih heboh dari dua nyawa sia-sia yang telah ditemukan. sampai kini, tiga sekawan yang akhirnya dihukum mati ini dikenal sebagai salah satu pelaku kejahatan paling kejam di Singapura.

 

(Kisah Nyata/NickyMoey/Icul)


Pramuka-07

Kami membina, mendidik dan mendampingi generasi muda putra-putri pertiwi untuk hantarkan mereka raih mimpi setinggi Asa, Walau tak sebesar debu, semangat pengabdian kami : berkontribusi mewujudkan kehidupan masyarakat dunia yang 'Damai Santun, Trampil dan Humanis', melalui para pembina, pendidik pada seluruh tingkat satuan dan gugus depan diwilayah pembinaan Kwartir Ranting 20.07 Gerakan Pramuka Kec. Kedung Kab. Jepara, Jawa Tengah

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak